BAB IX
MATERI
GENETIK
- Pembuktian DNA sebagai Materi Genetik
- Pembuktian RNA sebagai Materi Genetik pada Virus Tertentu
- Model Struktur Molekul DNA menurut Watson-Crick
- Tiga Fungsi Materi Genetik
- Replikasi Semi Konservatif
- Replikasi Θ dan Replikasi Lingkaran Menggulung
BAB IX.
MATERI GENETIK
Pada tahun
1868 seorang mahasiswa kedokteran di Swedia, J.F. Miescher, menemukan suatu zat
kimia bersifat asam yang banyak mengandung nitrogen dan fosfor. Zat ini
diisolasi dari nukleus sel nanah manusia dan kemudian dikenal dengan nama nuklein
atau asam nukleat. Meskipun ternyata asam nukleat selalu dapat diisolasi
dari nukleus berbagai macam sel, waktu itu fungsinya sama sekali belum
diketahui.
Dari hasil
analisis kimia yang dilakukan sekitar empat puluh tahun kemudian ditemukan
bahwa asam nukleat ada dua macam, yaitu asam deoksiribonukleat atau deoxyribonucleic
acid (DNA) dan asam ribonukleat atau ribonucleic acid
(RNA). Pada tahun 1924 studi mikroskopis menunjukkan bahwa DNA
terdapat di dalam kromosom, yang waktu itu telah diketahui sebagai organel
pembawa gen (materi genetik). Akan tetapi, selain DNA di dalam kromosom juga
terdapat protein sehingga muncul perbedaan pendapat mengenai hakekat materi
genetik, DNA atau protein.
Dugaan DNA
sebagai materi genetik secara tidak langsung sebenarnya dapat dibuktikan dari
kenyataan bahwa hampir semua sel somatis pada spesies tertentu mempunyai
kandungan DNA yang selalu tetap, sedangkan kandungan RNA dan proteinnya
berbeda-beda antara satu sel dan sel yang lain. Di samping itu, nukleus hasil
meiosis baik pada tumbuhan maupun hewan mempunyai kandungan DNA separuh
kandungan DNA di dalam nukleus sel somatisnya.
Meskipun
demikian, dalam kurun waktu yang cukup lama fakta semacam itu tidak cukup kuat
untuk meyakinkan bahwa DNA adalah materi genetik. Hal ini terutama karena dari
hasil analisis kimia secara kasar terlihat kurangnya variasi kimia pada molekul
DNA. Di sisi lain, protein dengan variasi kimia yang tinggi sangat memenuhi
syarat sebagai materi genetik. Oleh karena itu, selama bertahun-tahun protein
lebih diyakini sebagai materi genetik, sementara DNA hanya merupakan kerangka
struktur kromosom. Namun, pada pertengahan tahun 1940-an terbukti bahwa justru
DNA-lah yang merupakan materi genetik pada sebagian besar organisme.
DNA sebagai
Materi Genetik
Ada dua
bukti percobaan yang menunjukkan bahwa DNA adalah materi genetik. Masing-masing
akan diuraikan berikut ini.
Percobaan
transformasi
F. Griffith
pada tahun 1928 melakukan percobaan infeksi bakteri pneumokokus (Streptococcus
pneumonia) pada mencit. Bakteri penyebab penyakit pneumonia ini dapat
menyintesis kapsul polisakarida yang akan melindunginya dari mekanisme
pertahanan tubuh hewan yang terinfeksi sehingga bersifat virulen (menimbulkan
penyakit). Jika ditumbuhkan pada medium padat, bakteri pneumokokus akan
membentuk koloni dengan kenampakan halus mengkilap. Sementara itu, ada pula
strain mutan pneumokokus yang kehilangan kemampuan untuk menyintesis kapsul
polisakarida sehingga menjadi tidak tahan terhadap sistem kekebalan tubuh hewan
inangnya, dan akibatnya tidak bersifat virulen. Strain mutan ini akan membentuk
koloni dengan kenampakan kasar apabila ditumbuhkan pada medium padat.
Pneumokokus yang virulen sering dilambangkan dengan S, sedangkan strain mutannya
yang tidak virulen dilambangkan dengan R.
Mencit yang
diinfeksi dengan pneumokokus S akan mengalami kematian, dan dari organ
paru-parunya dapat diisolasi strain S tersebut. Sebaliknya, mencit yang
diinfeksi dengan strain R dapat bertahan hidup. Demikian juga, mencit yang
diinfeksi dengan strain S yang sebelumnya telah dipanaskan terlebih dahulu akan
dapat bertahan hidup. Hasil yang mengundang pertanyaan adalah ketika mencit
diinfeksi dengan campuran antara strain S yang telah dipanaskan dan strain R
yang masih hidup. Ternyata dengan perlakuan ini mencit mengalami kematian, dan
dari organ paru-parunya dapat diisolasi strain S yang masih hidup.
Dengan hasil
tersebut Griffith menyimpulkan bahwa telah terjadi perubahan (transformasi)
sifat strain R menjadi S. Transformasi terjadi karena ada sesuatu yang
dipindahkan dari sel-sel strain S yang telah mati (dipanaskan) ke strain R yang
masih hidup sehingga strain R yang semula tidak dapat membentuk kapsul berubah
menjadi strain S yang dapat membentuk kapsul dan bersifat virulen.
Percobaan
Griffith sedikit pun tidak memberikan bukti tentang materi genetik. Namun, pada
tahun 1944 tiga orang peneliti, yakni O. Avery, C. MacLeod, dan M. McCarty
melakukan percobaan untuk mengetahui hakekat materi yang dipindahkan dari
strain S ke strain R.
Mereka
melakukan percobaan transformasi secara in vitro, yaitu dengan
menambahkan ekstrak DNA dari strain S yang telah mati kepada strain R yang
ditumbuhkan di medium padat. Di dalam ekstrak DNA ini terdapat juga sejumlah
protein kontaminan, dan penambahan tersebut ternyata menyebabkan strain R
berubah menjadi S seperti pada percobaan Griffith. Jika pada percobaan
Avery dan kawan-kawannya itu ditambahkan enzim RNase (pemecah RNA) atau enzim
protease (pemecah protein), transformasi tetap berjalan atau strain R berubah
juga menjadi S. Akan tetapi, jika enzim yang diberikan adalah DNase
(pemecah DNA), maka transformasi tidak terjadi. Artinya, strain R tidak berubah
menjadi strain S. Hal ini jelas membuktikan bahwa materi yang bertanggung
jawab atas terjadinya transformasi pada bakteri pneumonia, dan ternyata juga
pada hampir semua organisme, adalah DNA, bukan RNA atau protein.
kultur
strain S
ekstraksi
DNA
ekstrak DNA
+ protein kontaminan
ditambahkan
ke kultur strain R
protease
RNase
DNase
kultur
kultur
kultur
strain
R
strain R
strain R
strain R +
S
strain R + S
strain R
Gambar 9.1.
Diagram percobaan transformasi yang
membuktikan
DNA sebagai materi genetik
Percobaan
infeksi bakteriofag
Percobaan
lain yang membuktikan bahwa DNA adalah materi genetik dilaporkan pada tahun
1952 oleh A. Hershey dan M. Chase. Percobaan dilakukan dengan mengamati
reproduksi bakteriofag (virus yang menyerang bakteri) T2 di dalam sel bakteri
inangnya, yaitu Escherichia coli. Sebelumnya, cara berlangsungnya
infeksi T2 pada E. coli telah diketahui (lihat Bab XII). Mula-mula
partikel T2 melekatkan ujung ekornya pada dinding sel E. coli, diikuti
oleh masuknya materi genetik T2 ke dalam sel E. coli sehingga memungkinkan
terjadinya penggandaan partikel T2 di dalam sel inangnya itu. Ketika hasil
penggandaan partikel T2 telah mencapai jumlah yang sangat besar, sel E. coli
akan mengalami lisis. Akhirnya, partikel-partikel T2 yang keluar akan
mencari sel inang yang baru, dan siklus reproduksi tadi akan terulang kembali.
Bakteriofag
T2 diketahui mempunyai kandungan protein dan DNA dalam jumlah yang lebih kurang
sama. Untuk memastikan sifat kimia materi genetik yang dimasukkan ke dalam sel
inang dilakukan pelabelan terhadap molekul protein dan DNAnya. Protein,
yang umumnya banyak mengandung sulfur tetapi tidak mengandung fosfor dilabeli
dengan radioisotop 35S. Sebaliknya, DNA yang sangat banyak
mengandung fosfor tetapi tidak mengandung sulfur dilabeli dengan radioisotop 32P.
materi
genetik masuk
dilabeli
dengan 35S dan 32P
ke sel inang
|
sel inang
lisis
|
Gambar 9.2.
Daur hidup bakteriofag T2 dan diagram percobaan infeksi T2 pada E. coli
yang membuktikan DNA sebagai materi genetik
Bakteriofag
T2 dengan protein yang telah dilabeli diinfeksikan pada E. coli.
Dengan sentrifugasi, sel-sel E. coli ini kemudian dipisahkan dari
partikel-partikel T2 yang sudah tidak melekat lagi pada dinding selnya.
Ternyata di dalam sel-sel E. coli sangat sedikit ditemukan
radioisotop 35S, sedangkan pada partikel-partikel T2 masih banyak
didapatkan radioisotop tersebut. Apabila dengan cara yang sama digunakan
bakteriofag T2 yang dilabeli DNAnya, maka di dalam sel-sel E. coli
ditemukan banyak sekali radiosiotop 32P, sedangkan pada
partikel-partikel T2 hanya ada sedikit sekali radioisotop tersebut. Hasil
percobaan ini jelas menunjukkan bahwa materi genetik yang dimasukkan oleh
bakteriofag T2 ke dalam sel E. coli adalah materi yang dilabeli dengan 32P
atau DNA, bukannya protein.
RNA sebagai
Materi Genetik pada Beberapa Virus
Beberapa
virus tertentu diketahui tidak mempunyai DNA, tetapi hanya tersusun dari RNA
dan protein. Untuk memastikan di antara kedua makromolekul tersebut yang
berperan sebagai materi genetik, antara lain telah dilakukan percobaan
rekonstitusi yang dilaporkan oleh H. Fraenkel-Conrat dan B. Singer pada tahun
1957.
Mereka
melakukan penelitian pada virus mozaik tembakau atau tobacco mozaic virus
(TMV), yaitu virus yang menyebabkan timbulnya penyakit mozaik pada daun
tembakau. Virus ini mengandung molekul RNA yang terbungkus di dalam selubung
protein. Dengan perlakuan kimia tertentu molekul RNA dapat dipisahkan dari
selubung proteinnya untuk kemudian digabungkan (direkonstitusi) dengan selubung
protein dari strain TMV yang lain.
protein
RNA
pemisahan
rekonstitusi infeksi ke daun
RNA dari
tembakau
protein
Gambar 9.3.
Percobaan yang membuktikan RNA sebagai materi genetik pada TMV
= TMV strain
A
= TMV strain B
RNA dari
strain A direkonstitusi dengan protein strain B. Sebaliknya, RNA dari strain B
direkonstitusi dengan protein dari strain A. Kedua TMV hasil rekonstitusi ini
kemudian diinfeksikan ke inangnya (daun tembakau) agar mengalami penggandaan.
TMV hasil penggandaan ternyata merupakan strain A jika RNAnya berasal dari
strain A dan merupakan strain B jika RNAnya berasal dari strain B. Jadi, faktor
yang menentukan strain hasil penggandaan adalah RNA, bukan protein. Oleh karena
itu, dapat disimpulkan bahwa materi genetik pada virus-virus yang tidak mempunyai
DNA, seperti halnya TMV, adalah RNA.
Komposisi
Kimia Asam Nukleat
Hasil
analisis kimia asam nukleat menunjukkan bahwa makromolekul ini tersusun dari
subunit-subunit berulang (monomer) yang disebut nukleotida sehingga asam
nukleat dapat juga dikatakan sebagai polinukleotida. Nukleotida yang
satu dengan nukleotida berikutnya dihubungkan oleh ikatan fosfodiester yang
sangat kuat. Tiap nukleotida terdiri atas tiga komponen, yaitu gugus fosfat,
gula pentosa (gula dengan lima atom karbon), dan basa nukleotida atau basa
nitrogen (basa siklik yang mengandung nitrogen). Pada DNA basa nitrogen
berikatan secara kimia dengan gula pentosa membentuk molekul yang disebut nukleosida
sehingga setiap nukleotida pada DNA dapat disebut juga sebagai nukleosida
monofosfat.
Gula pentosa
pada DNA adalah 2-deoksiribosa, sedangkan pada RNA adalah ribosa.
Menurut kebiasaan, penomoran atom C pada gula pentosa dilakukan menggunakan
tanda aksen (’) untuk membedakannya dengan penomoran atom C pada basa nitrogen.
Atom C pada gula pentosa yang berikatan dengan basa nitrogen ditentukan sebagai
atom C pertama (1’). Atom C nomor 2’ pada DNA tidak mengikat gugus OH
seperti halnya pada RNA, tetapi mengikat gugus H sehingga gula pentosanya
dinamakan deoksiribosa.
Sementara
tu, basa nitrogen ada dua macam, yakni basa dengan cincin rangkap atau disebut purin
dan basa dengan cincin tunggal atau disebut pirimidin. Basa purin, baik
pada DNA maupun RNA, dapat berupa adenin (A) atau guanin (G),
sedangkan basa pirimidin pada DNA dapat berupa sitosin (C) atau timin
(T). Pada RNA tidak terdapat basa timin, tetapi diganti dengan urasil
(U).
Biasanya DNA
mempunyai struktur sebagai molekul polinukleotida untai ganda, sedangkan RNA
adalah polinukleotida untai tunggal. Ini merupakan perbedaan lain di antara
kedua macam asam nukleat tersebut.
O
O
P = O gugus fosfat
O
5’CH2OH
O
5’CH2OH O
OH
OH
4’
1’
4’
1’
H
H
H H
H
H
H H
3’
2’
3’
2’
OH
H
OH
OH
gula
2-deoksiribosa
gula ribosa
NH2 O
N
N
N
6
5
7 8
H
H N 6
5
7 8 H
1
1
H
2
4
9
NH2 2
4
9
3
N H
3
N H
N
N
adenin
guanin
NH2
O
O
4
4
4
N3
5
H
H N3
5 CH3
H N3
5 H
2
1 6
H
2 1 6
H
2 1 6 H
O
NH
O
NH
O NH
sitosin
timin
urasil
Gambar 9.4.
Komponen kimia asam nukleat
Model
Struktur DNA Watson-Crick
Model
struktur fisik molekul DNA pertama kali diajukan pada tahun 1953 oleh J.D.
Watson dan F.H.C. Crick. Ada dua dasar yang digunakan dalam melakukan deduksi
terhadap model tersebut, yaitu
- Hasil analisis kimia yang dilakukan oleh E. Chargaff terhadap kandungan basa nitrogen molekul DNA dari berbagai organisme selalu menunjukkan bahwa konsentrasi adenin sama dengan timin, sedangkan guanin sama dengan sitosin. Dengan sendirinya, konsentrasi basa purin total menjadi sama dengan konsentrasi basa pirimidin total. Akan tetapi, nisbah konsentrasi adenin + timin terhadap konsentrasi guanin + sitosin sangat bervariasi dari spesies ke spesies.
- Pola difraksi yang diperoleh dari hasil pemotretan molekul DNA menggunakan sinar X oleh M.H.F. Wilkins, R. Franklin, dan para koleganya menunjukkan bahwa basa-basa nitrogen tersusun vertikal di sepanjang sumbu molekul dengan interval 3,4 Å.
Dari data
kimia Chargaff serta difraksi sinar X Wilkins dan Franklin tersebut Watson dan
Crick mengusulkan model struktur DNA yang dikenal sebagai model tangga
berpilin (double helix). Menurut model ini kedua untai
polinukleotida saling memilin di sepanjang sumbu yang sama. Satu sama lain
arahnya sejajar tetapi berlawanan (antiparalel). Basa-basa nitrogen
menghadap ke arah dalam sumbu, dan terjadi ikatan hidrogen antara basa A
pada satu untai dan basa T pada untai lainnya. Begitu pula, basa G pada satu
untai selalu berpasangan dengan basa C pada untai lainnya melalui ikatan
hidrogen. Oleh karena itu, begitu urutan basa pada satu untai polinukleotida
diketahui, maka urutan basa pada untai lainnya dapat ditentukan pula. Adanya
perpasangan yang khas di antara basa-basa nitrogen itu menyebabkan kedua untai
polinukleotida komplementer satu sama lain.
Setiap
pasangan basa berjarak 3,4 Å dengan pasangan basa berikutnya. Di dalam satu
kali pilinan (360°) terdapat 10 pasangan basa. Antara basa A dan T yang
berpasangan terdapat ikatan hidrogen rangkap dua, sedangkan antara basa G dan C
yang berpasangan terdapat ikatan hidrogen rangkap tiga. Hal ini menyebabkan
nisbah A+T terhadap G+C mempengaruhi stabilitas molekul DNA. Makin tinggi
nisbah tersebut, makin rendah stabilitas molekul DNAnya, dan begitu pula
sebaliknya.
Gugus fosfat
dan gula terletak di sebelah luar sumbu. Seperti telah disebutkan di atas,
nukleotida-nukleotida yang berurutan dihubungkan oleh ikatan fosfodiester.
Ikatan ini menghubungkan atom C nomor 3’ dengan atom C nomor 5’ pada gula
deoksiribosa. Di salah satu ujung untai polinukleotida, atom C nomor 3’ tidak
lagi dihubungkan oleh ikatan fosfodiester dengan nukleotida berikutnya, tetapi
akan mengikat gugus OH. Oleh karena itu, ujung ini dinamakan ujung 3’
atau ujung OH. Di ujung lainnya atom C nomor 5’ akan mengikat gugus
fosfat sehingga ujung ini dinamakan ujung 5’ atau ujung P.
Kedudukan antiparalel di antara kedua untai polinukleotida sebenarnya dilihat
dari ujung-ujung ini. Jika untai yang satu mempunyai arah dari ujung 5’ ke 3’,
maka untai komplementernya mempunyai arah dari ujung 3’ ke 5’.
OH(3’)
P(5’)
P
P
P
P
P
P
P
P
P(5’)
OH(3’)
Gambar 9.5 Diagram struktur molekul DNA
=
gula =
adenin =
timin =
guanin = sitosin
Fungsi
Materi Genetik
Setelah
terbukti bahwa DNA merupakan materi genetik pada sebagian besar organisme, kita
akan melihat fungsi yang harus dapat dilaksanakan oleh molekul tersebut sebagai
materi genetik. Dalam beberapa dasawarsa pertama semenjak gen dikemukakan
sebagai faktor yang diwariskan dari generasi ke generasi, sifat-sifat
molekulernya baru sedikit sekali terungkap. Meskipun demikan, ketika itu telah
disepakati bahwa gen sebagai materi genetik, yang sekarang ternyata adalah DNA,
harus dapat menjalankan tiga fungsi pokok berikut ini.
- Materi genetik harus mampu menyimpan informasi genetik dan dengan tepat dapat meneruskan informasi tersebut dari tetua kepada keturunannya, dari generasi ke generasi. Fungsi ini merupakan fungsi genotipik, yang dilaksanakan melalui replikasi. Bagian setelah ini akan membahas replikasi DNA.
- Materi genetik harus mengatur perkembangan fenotipe organisme. Artinya, materi genetik harus mengarahkan pertumbuhan dan diferensiasi organisme mulai dari zigot hingga individu dewasa. Fungsi ini merupakan fungsi fenotipik, yang dilaksanakan melalui ekspresi gen (Bab X).
- Materi genetik sewaktu-waktu harus dapat mengalami perubahan sehingga organisme yang bersangkutan akan mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang berubah. Tanpa perubahan semacam ini, evolusi tidak akan pernah berlangsung. Fungsi ini merupakan fungsi evolusioner, yang dilaksanakan melalui peristiwa mutasi (Bab XI).
Replikasi
DNA
Ada tiga
cara teoretis replikasi DNA yang pernah diusulkan, yaitu konservatif,
semikonservatif, dan dispersif. Pada replikasi konservatif seluruh tangga
berpilin DNA awal tetap dipertahankan dan akan mengarahkan pembentukan tangga
berpilin baru. Pada replikasi semikonservatif tangga berpilin mengalami
pembukaan terlebih dahulu sehingga kedua untai polinukleotida akan saling
terpisah. Namun, masing-masing untai ini tetap dipertahankan dan akan bertindak
sebagai cetakan (template) bagi pembentukan untai polinukleotida baru.
Sementara itu, pada replikasi dispersif kedua untai polinukleotida mengalami
fragmentasi di sejumlah tempat. Kemudian, fragmen-fragmen polinukleotida yang
terbentuk akan menjadi cetakan bagi fragmen nukleotida baru sehingga fragmen lama
dan baru akan dijumpai berselang-seling di dalam tangga berpilin yang baru.
konservatif
semikonservatif
dispersif
Gambar 9.6.
Tiga cara teoretis replikasi DNA
= untai
lama = untai
baru
Di antara
ketiga cara replikasi DNA yang diusulkan tersebut, hanya cara semikonservatif
yang dapat dibuktikan kebenarannya melalui percobaan yang dikenal dengan nama sentrifugasi
seimbang dalam tingkat kerapatan atau equilibrium density-gradient
centrifugation. Percobaan ini dilaporkan hasilnya pada tahun 1958 oleh
M.S. Meselson dan F.W. Stahl.
Mereka
menumbuhkan bakteri Escherichia coli selama beberapa generasi di dalam
medium yang mengandung isotop nitrogen 15N untuk menggantikan isotop
nitrogen normal 14N yang lebih ringan. Akibatnya, basa-basa nitrogen
pada molekul DNA sel-sel bakteri tersebut akan memiliki 15N yang
berat. Molekul DNA dengan basa nitrogen yang mengandung 15N
mempunyai tingkat kerapatan (berat per satuan volume) yang lebih tinggi
daripada DNA normal (14N). Oleh karena molekul-molekul dengan
tingkat kerapatan yang berbeda dapat dipisahkan dengan cara sentrifugasi
tersebut di atas, maka Meselson dan Stahl dapat mengikuti perubahan tingkat
kerapatan DNA sel-sel bakteri E. coli yang semula ditumbuhkan pada
medium 15N selama beberapa generasi, kemudian dikembalikan ke medium
normal 14N selama beberapa generasi berikutnya.
Molekul DNA
mempunyai kerapatan yang lebih kurang sama dengan kerapatan larutan garam yang
sangat pekat seperti larutan 6M CsCl (sesium khlorida). Sebagai
perbandingan, kerapatan DNA E.coli dengan basa nitrogen yang mengandung
isotop 14N dan 15N masing-masing adalah 1,708 g/cm3
dan 1,724 g/cm3, sedangkan kerapatan larutan 6M CsCl adalah 1,700
g/cm3.
Ketika
larutan 6M CsCl yang di dalamnya terdapat molekul DNA disentrifugasi dengan
kecepatan sangat tinggi, katakanlah 30.000 hingga 50.000 rpm, dalam waktu 48
hingga 72 jam, maka akan terjadi keseimbangan tingkat kerapatan. Hal ini karena
molekul-molekul garam tersebut akan mengendap ke dasar tabung sentrifuga akibat
adanya gaya sentrifugal, sementara di sisi lain difusi akan menggerakkan
molekul-molekul garam kembali ke atas tabung. Molekul DNA dengan tingkat
kerapatan tertentu akan menempati kedudukan yang sama dengan kedudukan larutan
garam yang tingkat kerapatannya sama dengannya.
DNA yang
diekstrak dari sel E. coli yang ditumbuhkan pada medium 15N
terlihat menempati dasar tabung. Selanjutnya, DNA yang diekstrak dari sel
E.coli yang pertama kali dipindahkan kembali ke medium 14N
terlihat menempati bagian tengah tabung. Pada generasi kedua setelah E.coli
ditumbuhkan pada medium 14N ternyata DNAnya menempati bagian tengah
dan atas tabung. Ketika E.coli telah ditumbuhkan selama beberapa generasi
pada medium 14N, DNAnya nampak makin banyak berada di bagian atas
tabung, sedangkan DNA yang berada di bagian tengah tabung tetap. Meselson dan
Stahl menjelaskan bahwa pada generasi 15N, atau dianggap sebagai
generasi 0, DNAnya mempunyai kerapatan tinggi. Kemudian, pada generasi 14N
yang pertama, atau disebut sebagai generasi 1, DNAnya merupakan hibrid antara
DNA dengan kerapatan tinggi dan rendah. Pada generasi 2 DNA hibridnya masih
ada, tetapi muncul pula DNA baru dengan kerapatan rendah. Demikian seterusnya,
DNA hibrid akan tetap jumlahnya, sedangkan DNA baru dengan kerapatan rendah
akan makin banyak dijumpai. Pada Gambar 9.7 terlihat bahwa interpretasi data
hasil percobaan sentrifugasi ini jelas sejalan dengan cara pembentukan molekul
DNA melalui replikasi semikonservatif.
medium 15N
ekstrak DNA
(generasi 0)
ekstrak DNA
medium 14N
(generasi 1)
ekstrak DNA
(generasi 2)
medium 14N
ekstrak DNA
medium 14N
(generasi 3)
interpretasi
data hasil sentrifugasi DNA
Gambar 9.7.
Diagram percobaan Meselson dan Stahl yang memperlihatkan
replikasi
DNA secara semikonservatif
Pada
percobaan Meselson dan Stahl ekstrak DNA yang diperoleh dari sel-sel E. coli
berada dalam keadaan terfragmentasi sehingga replikasi molekul DNA dalam
bentuknya yang utuh sebenarnya belum diketahui. Replikasi DNA kromosom dalam
keadaan utuh _ yang pada prokariot ternyata berbentuk melingkar atau
sirkular _ baru dapat diamati menggunakan teknik autoradiografi dan
mikroskopi elektron. Dengan kedua teknik ini terlihat bahwa DNA berbagai virus,
khloroplas, dan mitokhondria melakukan replikasi yang dikenal sebagai replikasi
θ (theta) karena autoradiogramnya menghasilkan gambaran
seperti huruf Yunani tersebut. Selain replikasi θ, pada sejumlah bakteri
dan organisme eukariot dikenal pula replikasi yang dinamakan replikasi
lingkaran menggulung (rolling circle replication). Replikasi ini
diawali dengan pemotongan ikatan fosfodiester pada daerah tertentu yang
menghasilkan ujung 3’ dan ujung 5’. Pembentukan (sintesis) untai DNA baru
terjadi dengan penambahan deoksinukleotida pada ujung 3’ yang diikuti oleh
pelepasan ujung 5’ dari lingkaran molekul DNA. Sejalan dengan berlangsungnya
replikasi di seputar lingkaran DNA, ujung 5’ akan makin terlepas dari lingkaran
tersebut sehingga membentuk ’ekor’ yang makin memanjang (Gambar 9.8).
penambahan
nukleotida
ujung 3’
tempat ujung 5’ pelepasan ujung
5’ pemanjangan ’ekor’
terpotongnya
ikatan fosfodiester
Gambar 9.8.
Replikasi lingkaran menggulung
= untai
lama = untai
baru
Dimulainya (inisiasi)
replikasi DNA terjadi di suatu tempat tertentu di dalam lingkaran molekul DNA
yang dinamakan titik awal replikasi atau origin of replication
(ori). Proses inisiasi ini ditandai oleh saling memisahnya kedua untai
DNA, yang masing-masing akan berperan sebagai cetakan bagi pembentukan untai
DNA baru sehingga akan diperoleh suatu gambaran yang disebut sebagai garpu
replikasi. Biasanya, inisiasi replikasi DNA, baik pada prokariot maupun
eukariot, terjadi dua arah (bidireksional). Dalam hal ini dua garpu replikasi
akan bergerak melebar dari ori menuju dua arah yang berlawanan. Pada eukariot,
selain terjadi replikasi dua arah, ori dapat ditemukan di beberapa tempat.
Enzim-enzim
yang berperan dalam replikasi DNA
Replikasi
DNA, atau sintesis DNA, melibatkan sejumlah reaksi kimia yang diatur oleh
beberapa enzim. Salah satu diantaranya adalah enzim DNA polimerase, yang
mengatur pembentukan ikatan fosfodiester antara dua nukleotida yang berdekatan
sehingga akan terjadi pemanjangan untai DNA (polinukleotida).
Agar DNA
polimerase dapat bekerja mengatalisis reaksi sintesis DNA, diperlukan tiga
komponen reaksi, yaitu
- Deoksinukleosida trifosfat, yang terdiri atas deoksiadenosin trifosfat (dATP), deoksiguanosin trifosfat (dGTP), deoksisitidin trifosfat (dCTP), dan deoksitimidin trifosfat (dTTP). Keempat molekul ini berfungsi sebagai sumber basa nukleotida.
- Untai DNA yang akan digunakan sebagai cetakan (template).
- Segmen asam nukleat pendek, dapat berupa DNA atau RNA, yang mempunyai gugus 3’- OH bebas. Molekul yang dinamakan primer ini diperlukan karena tidak ada enzim DNA polimerase yang diketahui mampu melakukan inisiasi sintesis DNA.
Reaksi
sintesis DNA secara skema dapat dilihat pada Gambar 9.9. Dalam gambar tersebut
sebuah molekul dGTP ditambahkan ke molekul primer yang terdiri atas tiga
nukleotida (A-C-A). Penambahan dGTP terjadi karena untai DNA cetakannya
mempunyai urutan basa T-G-T-C- . . . . . Hasil penambahan yang diperoleh
adalah molekul DNA yang terdiri atas empat nukleotida (A-C-A-G). Dua buah
atom fosfat (PPi) dilepaskan dari dGTP karena sebuah atom fosfatnya diberikan
ke primer dalam bentuk nukleotida dengan basa G atau deoksinukleosida monofosfat
(dGMP). Kita lihat bahwa sintesis DNA (penambahan basa demi basa)
berlangsung dari ujung 5’ ke ujung 3’.
T
G
T C . . . . . DNA
cetakan T
G
T C . . . . . .
A
C
A
A
C A
G
dGTP
PPi
3’
3’
3’
3’
3’ 3’
3’
P
P
P OH DNA
polimerase P
P
P
P OH
5’
5’
5’
Mg2+ 5’
5’
5’ 5’
Gambar 9.9.
Skema reaksi sintesis DNA
Enzim DNA
polimerase yang diperlukan untuk sintesis DNA pada E. coli ada dua
macam, yaitu DNA polimerase I (Pol I) dan DNA polimerase III (Pol III). Dalam
sintesis DNA, Pol III merupakan enzim replikasi yang utama, sedangkan enzim Pol
I memegang peran sekunder. Sementara itu, enzim DNA polimerase untuk
sintesis DNA kromosom pada eukariot disebut polimerase α.
Selain mampu
melakukan pemanjangan atau polimerisasi DNA, sebagian besar enzim DNA
polimerase mempunyai aktivitas nuklease, yaitu pembuangan molekul
nukleotida dari untai polinukleotida. Aktivitas nuklease dapat dibedakan
menjadi (1) eksonuklease atau pembuangan nukleotida dari ujung
polinukleotida dan (2) endonuklease atau pemotongan ikatan fosfodiester
di dalam untai polinukleotida.
Enzim Pol I
dan Pol III dari E. coli mempunyai aktivitas eksonuklease yang hanya
bekerja pada ujung 3’. Artinya, pemotongan terjadi dari ujung 3’ ke arah
ujung 5’. Hal ini bermanfaat untuk memperbaiki kesalahan sintesis DNA atau
kesalahan penambahan basa, yang bisa saja terjadi meskipun sangat jarang
(sekitar satu di antara sejuta basa !). Kesalahan penambahan basa pada
untai polinukleotida yang sedang tumbuh (dipolimerisasi) menjadikan basa-basa
salah berpasangan, misalnya A dengan C. Fungsi perbaikan kesalahan yang
dijalankan oleh enzim Pol I dan III tersebut dinamakan fungsi penyuntingan (proofreading).
Khusus enzim Pol I ternyata juga mempunyai aktivitas eksonuklease 5’→ 3’ di
samping aktivitas eksonuklease 3’→5’ (lihat juga Bab XI).
Enzim lain
yang berperan dalam proses sintesis DNA adalah primase. Enzim ini
bekerja pada tahap inisiasi dengan cara mengatur pembentukan molekul primer di
daerah ori. Setelah primer terbentuk barulah DNA polimerase melakukan elongasi
atau pemanjangan untai DNA.
Tahap
inisiasi sintesis DNA juga melibatkan enzim DNA girase dan protein
yang mendestabilkan pilinan (helix destabilizing protein).
Kedua enzim ini berperan dalam pembukaan pilinan di antara kedua untai DNA
sehingga kedua untai tersebut dapat saling memisah.
Pada bagian
berikut ini akan dijelaskan bahwa sintesis DNA baru tidak hanya terjadi pada
salah satu untai DNA, tetapi pada kedua-duanya. Hanya saja sintesis DNA pada
salah satu untai berlangsung tidak kontinyu sehingga menghasilkan fragmen yang
terputus-putus. Untuk menyambung fragmen-fragmen ini diperlukan enzim
yang disebut DNA ligase.
Replikasi
pada kedua untai DNA
Proses
replikasi DNA yang kita bicarakan di atas sebenarnya barulah proses yang
terjadi pada salah satu untai DNA. Untai DNA tersebut sering dinamakan untai
pengarah (leading strand). Sintesis DNA baru pada untai
pengarah ini berlangsung secara kontinyu dari ujung 5’ ke ujung 3’ atau
bergerak di sepanjang untai pengarah dari ujung 3’ ke ujung 5’.
Pada untai
DNA pasangannya ternyata juga terjadi sintesis DNA baru dari ujung 5’ ke ujung
3’ atau bergerak di sepanjang untai DNA cetakannya ini dari ujung 3’ ke ujung
5’. Namun, sintesis DNA pada untai yang satu ini tidak berjalan kontinyu
sehingga menghasilkan fragmen terputus-putus, yang masing-masing mempunyai arah
5’→ 3’. Terjadinya sintesis DNA yang tidak kontinyu sebenarnya disebabkan
oleh sifat enzim DNA polimerase yang hanya dapat menyintesis DNA dari arah 5’
ke 3’ serta ketidakmampuannya untuk melakukan inisiasi sintesis DNA.
Untai DNA
yang menjadi cetakan bagi sintesis DNA tidak kontinyu itu disebut untai
tertinggal (lagging strand). Sementara itu, fragmen-fragmen DNA yang
dihasilkan dari sintesis yang tidak kontinyu dinamakan fragmen Okazaki,
sesuai dengan nama penemunya. Seperti telah dikemukakan di atas,
fragmen-fragmen Okazaki akan disatukan menjadi sebuah untai DNA yang utuh
dengan bantuan enzim DNA ligase.
ori
untai tertinggal
5’
3’ 5’ 3’ 5’
3’
fragmen-fragmen 3’ 5’
3’
5’
Okazaki
5’
3’
5’ 3’
untai baru
kontinyu
untai
pengarah
Gambar 9.10.
Diagram replikasi pada kedua untai DNA
Kromosom
(bahasa Yunani: chroma, warna; dan soma, badan) merupakan struktur di dalam sel
berupa deret panjang molekul yang terdiri dari satu molekul DNA dan berbagai
protein terkait yang merupakan informasi genetik suatu organisme, seperti
molekul kelima jenis histon dan faktor transkripsi yang terdapat pada beberapa
deret, dan termasuk gen unsur regulator dan sekuens nukleotida. Kromosom yang
berada di dalam nukleus sel eukariota, secara khusus disebut kromatin.
Gambar 1: Kromosom. (1) Kromatid. Salah satu
dari dua bagian identik kromosom yang terbentuk setelah fase S pada pembelahan sel.
(2) Sentromer. Tempat persambungan
kedua kromatid, dan tempat melekatnya mikrotubulus.
(3) Lengan pendek
(4) Lengan panjang.
Berdasarkan
letak sentromer dan lengan, bentuk kromosom dibedakan menjadi empat macam
sebagai berikut.
1. Bentuk telosentrik,
yaitu jika letak sentromer berada di ujung.
2. Bentuk akrosentrik,
yaitu jika letak sentromer mendekati ujung.
3. Bentuk submetasentrik,
yaitu jika letak sentromer agak jauh dari ujung kromosom dan biasanya membentuk
huruf L atau J.
4. Bentuk metasentrik, yaitu
jika letak sentromer berada di tengah sehingga panjang masing-masing lengan
sama.
a)
Telosentrik, b) Akrosentrik, c) Submetasentrik, dan d)Metasentrik
Susunan dan
jumlah kromosom dari setiap individu bervariasi.
Berikut
gambaran variasi jumlah kromosom pada beberapa organisme
Tabel Jumlah
kromosom pada beberapa organisme
Berdasarkan
tabel tersebut menunjukkan bahwa jumlah kromosom tidak ada hubungannya dengan
tingkat atau derajat individu. Makhluk hidup yang diploid (2n) akan
menghasilkan sel
yang haploid (n) pada sel kelaminnya. Hal ini
mengakibatkan zigot yang terbentuk pada peristiwa fertilisasi (pembuahan)
bersifat diploid.
Cara
penulisan kromosom pada individu adalah sebagai berikut. Pada manusia,
misalnya, setiap sel tubuh mengandung 46 buah kromosom, yang terdiri atas 22 pasang
autosom dan 1 pasang kromosom seks. Jika ditulis, 22 AA + XX untuk individu
wanita dan 22 AA + XY untuk individu laki-laki. Namun, pada sel kelamin (gamet)
yang memiliki 23 buah kromosom dapat ditulis 22 A + X untuk sel telur (ovum)
dan 22 A + X atau 22 A + Y untuk sperma
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih